Minut-Sengketa hukum terkait eksekusi di Desa Laikit, Kecamatan Dimembe, Minahasa Utara, semakin memanas setelah pernyataan kontroversial dari Arm Cris Noya, pengacara yang dikenal dengan julukan “pengacara koboy asal bunyi” (asbun).
Dalam sebuah video, Noya mengklaim bahwa eksekusi pada Jumat, 30 Agustus 2024, dihalangi Kuasa Hukum Termohon Eksekusi, Noch Sambouw, SH, MH, CMC.
Menanggapi tuduhan tersebut, Noch Sambouw dengan tegas membantah. Ia menjelaskan bahwa dirinya bukan Kuasa Hukum Termohon Eksekusi pada perkara nomor 49/Pdt.G/2014/PN Arm, melainkan Kuasa Hukum Penggugat pada perkara nomor 200/Pdt.G/2023/PN Arm.
“Saya tidak ada urusan dengan perkara nomor 49/Pdt.G/2014/PN Arm. Saya melawan eksekusi karena objek yang akan dieksekusi sedang dalam sengketa di pengadilan dengan nomor perkara 200/Pdt.G/2023/PN Arm,” ujarnya.
Sambouw menambahkan bahwa tidak ada advokat yang akan membiarkan objek yang sedang ditangani di pengadilan dieksekusi, meskipun sudah ada putusan di perkara sebelumnya.
“Ada pedoman yang jelas menyebutkan bahwa jika objek eksekusi masih tersangkut dalam perkara lain, eksekusi harus ditangguhkan hingga perkara tersebut selesai,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sambouw mempertanyakan dasar hukum yang digunakan pengacara koboy dan Ketua Pengadilan Negeri Airmadidi dalam pelaksanaan eksekusi tersebut.
Ia merujuk pada pedoman Mahkamah Agung tahun 2019 yang menyatakan eksekusi harus ditunda jika objeknya sedang dalam sengketa lain.
“Apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan aturan. Ada perkara pidana terkait objek ini yang sudah masuk tahap penyidikan,” jelas Sambouw.
Selain itu, Noya juga menyebut bahwa objek eksekusi sudah “delapan kosong.” Sambouw dengan tajam menolak analogi tersebut, menegaskan bahwa hukum tidak bisa disamakan dengan sepak bola.
“Walau mereka sudah menang beberapa kali, jika saya berhasil di pengadilan tingkat akhir, maka kemenangan ada di tangan saya,” ungkapnya.
Tudingan yang dilontarkan pengacara koboy bahwa Sambouw dan timnya meminta perdamaian juga dibantah keras. Sambouw menyatakan bahwa justru Pengadilan Negeri Airmadidi yang meminta kliennya hadir dalam pertemuan dengan tergugat pada perkara nomor 200/Pdt.G/2023/PN Arm.
“Bukan kami yang meminta perdamaian, kami hanya memenuhi panggilan pengadilan,” tegasnya.
Menanggapi tuduhan provokasi yang dilayangkan oleh Noya, Sambouw menantang pihak yang merasa dirugikan untuk membawa masalah ini ke ranah hukum.
“Jika saya salah, silakan laporkan. Semua langkah yang saya ambil sudah saya pertimbangkan dengan matang,” ujarnya.
Dalam video yang tersebar, pernyataan Noya yang menyebutkan terima kasih kepada Camat Dimembe yang dikiranya seorang bapak, padahal camat tersebut adalah seorang ibu menjadi sorotan dan bahan tertawaan di kalangan publik.
Ini semakin memperkuat julukan “asbun” yang disematkan kepadanya.
Sengketa ini masih berlanjut, dan perhatian publik terus mengarah pada langkah-langkah yang akan diambil pihak pengadilan maupun para pihak yang terlibat dalam perkara ini. (T3)