Macaca Nigra, Monyet Hitam yang hanya ada di Sulawesi Utara, lokasi Kawasan Hutan Konservasi Cagar Alam Duasudara Tangkoko (Foto : Meldy Tamengge).
Redaksisulut – Sidang ke-32 International Coordinating Council (ICC) Man and the Biosphere (MAB) UNESCO pada Rabu, 28 Oktober 2020.
Dalam sidang tersebut, menetapkan tiga Cagar Biosfer baru di Indonesia, dengan luasan total sebesar 2.237.373.26 hektar, adalah Cagar Biosfer Bunaken, Tangkoko, Minahasa sebesar 746.412.54 Hektar, Cagar Biosfer Karimunjawa, Jepara, Muria sebesar 1.236.083.97 hektar dan Cagar Biosfer Merapi, Merbabu, Menoreh sebesar 254.876.75 hektar.
Sidang yang sedianya dilaksanakan di Abuja Nigeria ini, dan oleh di karena pandemi Covid-19 maka dilakukan secara daring oleh Sekretariat MAB UNESCO, Paris dipimpin oleh Mr Adepoju Adeshola dari Nigeria dan diikuti oleh 34 negara anggota ICC-MAB.Saat ini, Indonesia menjabat sebagai negara anggota ICC-MAB UNESCO untuk periode 2019 – 2023.
Selain menetapkan tiga cagar Biosfer di Indonesia, sidang tersebut juga menetapkan 24 Cagar Biosfer lainnya dari berbagai belahan Dunia.
Apa Itu Cagar Biosfer? Apa Tujuan dan Fungsinya? Dilansir dari media Lingkungan.lovelybogor.com
Cagar Biosfer adalah wilayah atau kawasan yang terdiri dari daratan, perairan, dan pantai yang dipergunakan untuk menemukan kompromi antara kelestarian alam, pemanfaatannya, dan penggunaannya bagi kehidupan umat manusia.
Kawasan ini disebut sebagai “Science for Sustainibility Support sites” atau kawasan tempat menguji pendekatan berbagai bidang, seperti sosial ekonomi, kemasyarakatan dan lingkungan dengan tujuan akhir untuk menemukan solusi memanfaatkan alam dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan pada saat bersamaan tetap menjaga kelestariannya.
Kelurahan Batuputih Bawa dan Atas yang berdekatan dengan kawasan Konservasi Hutan Tangkoko
Di kawasan ini diharapkan akan ada pemahaman terhadap interaksi manusia dengan alam , berbagai masalah dan konflik dan kemudian merumuskan pemecahan terhadap hal itu tanpa mengorbankan salah satu pihak, baik manusia maupun alam.
Latar Belakang Terbentuknya Jaringan Cagar Biosfer Manusia dan alam seringkali ditempatkan dalam dua kutub yang berseberangan dan tidak berada pada posisi yang sejajar. Dalam pemenuhan segala kebutuhannya, manusia kerap memandang alam sebagai sebuah obyek yang bisa terus dikeruk hanya demi meningkatkan kesejahteraannya.
Sayangnya, hal tersebut menimbulkan masalah berupa pengrusakan lingkungan alam besar-besaran hanya untuk kepentingan manusia. Pada akhirnya, prinsip sebab akibat berlaku, alam “membalas” apa yang dilakukan manusia dengan menghadirkan bencana, seperti tanah longsor, banjir, penyakit, dan masih banyak hal lainnya.
Inilah yang disebut dengan konflik manusia dengan alam.
Lahirnya kesadaran bahwa interaksi antar manusia dan alam harus dilakukan dengan pendekatan lain mendorong UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization), Badan PBB yang berkaitan dengan Pendidikan dan Budaya, mencetuskan sebuah program bernama “Man and Biosphere”, atau Manusia dan Biosfer pada tahun 1971.
Program ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana interaksi antar manusia dan lingkungan sekitarnya. Dengan ini diharapkan kemudian dapat dilahirkan sebuah “hubungan” ideal antara keduanya dan dapat membangun sebuah ekosistem yang akan menguntungkan kedua belah pihak demi umat manusia sendiri.
Sebagai tindak lanjut dari program ini, sejak tahun 1976, dibentuk Jaringan Cagar Biosfer di seluruh dunia (termasuk Indonesia).
Setiap negara berhak mengajukan kawasan untuk dijadikan Cagar Biosfer dan jika disetujui oleh Program “Man and Biosphere” maka kawasan tesebut harus dikelola sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh UNESCO. Jika dalam pengelolaannya, sebuah cagar biosfer tidak menunjukkan perbaikan, atau sesuai standar yang ditetapkan, maka statusnya bisa dicabut.
Hingga saat ini tercatat ada 669 cagar biosfer di 120 negara di dunia. Indonesia mencatatkan 11 buah diantaranya.
Struktur Zona Cagar Biosfer Mengingat fungsi sebuah cagar biosfer sangat beragam, mulai dari penelitian hingga menghidupi mereka yang tinggal di kawasan tersebut, sebuah cagar diwajibkan memiliki tiga zona yang masing-masing memiliki fungsi tertentu.
Zona Inti (Core Zone):
Zona ini berfungsi untuk menjaga kelestarian ekosistem utama yang ada di kawasan tersebut dan meminimalkan dampak terhadap kelangsungannya seminimal mungkin. Hal ini untuk menjamin bahwa berbagai spesies , keanekaragaman hayati dan lingkungan sekitarnya terjaga seperti asalnya.
Basanya bentuk dari sebuah zona inti adalah cagar alam yang dikelola oleh pemerintah dan untuk melakukan kegiatan di zona inti diharuskan mendapatkan izin dari pengelola.
Kegiatan yang dilakukan pada zona inti diharuskan memiliki dampak yang paling kecil terhadap ekosistem yang ada seperti penelitian dan pendidikan.
Zona Penyangga (Buffer Zone) :
Pada dasarnya, zona penyangga adalah pelindung dari zona utama. Pengaruh luar harus melewati kawasan ini dahulu sebelum bisa masuk ke inti. Zona ini dibuat mengelilingi zona inti.
Zona ini biasanya dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan yang lebih luas dari zona inti dan memungkinkan untuk pemanfaatan secara ekonomi, tetapi tetap tidak diperkenankan untuk mengeksploitasi alam dalam pelaksanaannya.
Berbagai kegiatan yang bisa dilakukan di zona penyangga adalah penelitian, pendidikan, rekreas, ekowisata, dan sejenisnya.
Zona Transisi (Transition Zone) :
Bagian terluar dari sebuah cagar budaya, mengelilingi zona penyangga, namanya zona transisi.
Pada zona ini, interaksi antar manusia dan alam menjadi yang paling intens. Kehidupan masyarakat manusia mendapatkan porsi yang lebih besar dari kedua zona lainnya.
Masyarakat diperkenankan mengelola lingkungan dan alam untuk kepentingannya. Tentunya dengan pengawasan dari pihak yang berwenang dan tetap berpatokan pada pengelolaan sumber daya alam yang baik dan benar.
Pertanian, usaha bisnis, penelitian, dan lainnya akan terlihat pada zona transisi ini.
Sementara itu, dilansir dari KOMPAS.com UNESCO Resmi Tetapkan 3 Cagar Biosfer Baru di Indonesia
Minggu, 1 November 2020 | 20:17 WIB
Direktur Eksekutif Komite Nasional Program MAB Indonesia – Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Y. Purwanto mengatakan, kini Indonesia memiliki 19 Cagar Biosfer seluas 29.901.729,259 ha yang menjadi bagian dari World Network of Biosphere Reserves (WNBR).
“Dari total luas kawasan Cagar Biosfer yang dimiliki Indonesia tersebut, luas kawasan konservasi yang menjadi core area/area inti Cagar Biosfer adalah 5.261.133,42 ha atau sebesar > 20% dari total luas kawasan Cagar Biosfer yang ada,” kata Purwanto.
Menurut Purwanto, konsep Cagar Biosfer telah digagas oleh UNESCO sejak tahun 1971.
Konsep Cagar Biosfer ini adalah mengelola suatu kawasan yang ditujukan untuk mengharmonisasikan antara kebutuhan konservasi keanekaragaman hayati – sosial – ekonomi yang berkelanjutan dan dukungan logistik yang cukup, dimana kawasan konservasi merupakan core area-nya.
Saat ini jumlah Cagar Biosfer telah mencapai jumlah 714 yang tersebar di 129 negara di dunia.
“Pembangunan dan pengembangan Cagar Biosfer Indonesia dapat menjadi sarana untuk melaksanakan komitmen bangsa Indonesia dalam melaksanakan berbagai konvensi terkait dengan lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan perubahan iklim,” ujar Purwanto.
Lebih lanjut Purwanto mengatakan, capaian penambahan tiga cagar biosfer baru tersebut merupakan prestasi Indonesia yang dimotori oleh Komite Nasional MAB UNESCO Indonesia yang didukung oleh LIPI dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan enam Pemerintah Kabupaten/Kota.
Senada dengan Purwanto, Direktur Program dan Pengembangan, Komite Nasional MAB Indonesia sekaligus Peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI, hari Nugroho mengatakan, keberadaan 19 Cagar Biosfer Indonesia membuat Indonesia memiliki peluang besar untuk mendemonstrasikan pembangunan berkelanjutan. (*/Wesly)